Awal Mula Pasar Modal Indonesia
Pada 17 Agustus 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, kondisi ekonomi negara dalam keadaan sangat kacau. Pemerintahan Republik Indonesia didirikan dengan kantong kosong, yang membuat pemerintah harus segera mencari cara untuk memenuhi kebutuhan belanja negara. Salah satu langkah yang diambil adalah mengajukan pinjaman nasional kepada rakyat dalam bentuk obligasi atau surat utang. Undang-Undang No. 4/1946 menjadi dasar hukum penggalangan dana tersebut. Negara berencana meminjam Rp 1 miliar kepada rakyat dalam dua tahap dan akan dibayar kembali paling lambat 40 tahun.
Menurut Prof Sumitro Djojohadikusumo, negara memaksa penduduk di Jawa dan Madura untuk menyetor uang kepada pemerintah pada 1946. Hasilnya, sekitar Rp 500 juta berhasil dihimpun dari rakyat dalam tahap pertama. Surat utang ini pada dasarnya bisa diperjualbelikan, tetapi catatan kurs tidak ditemukan karena saat itu bursa belum tersedia.
Bursa Efek Kembali Berdiri
Seiring dengan sulitnya pencatatan transaksi surat utang, negara berencana menghidupkan kembali bursa efek di Indonesia pada 1947. Namun, rencana tersebut tertunda karena situasi ekonomi yang masih labil. Utang negara kala itu membengkak, dengan utang luar negeri mencapai Rp 1,5 miliar dan utang dalam negeri sebesar Rp 2,8 miliar. Defisit negara saat itu mencapai Rp 5,1 miliar.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan sanering atau pemotongan nilai uang dengan cara menggunting mata uang pecahan di atas Rp 5 dan menjadikan bagian kanannya sebagai obligasi pemerintah pada 20 Maret 1950. Dari aksi pinjam paksa tahap dua tersebut, negara berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 1,43 miliar dan menyebut langkah tersebut sebagai Tiga Persen Obligasi.
Obligasi tiga persen senilai Rp 1,43 miliar lebih itu kemudian diperdagangkan secara liar di jalanan dengan harga miring, bahkan hanya 15% dari nilai nominal. Situasi ini mendorong pemerintah untuk membentuk bursa efek resmi demi melindungi pemilik surat utang. Melalui Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun 1951 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 15 Tahun 1952, Bursa Efek Indonesia resmi diaktifkan kembali.
Pengelolaan Bursa Efek Indonesia
Pengelolaan bursa diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Susunan pengurus bursa efek Indonesia saat itu terdiri dari R.M. Gondosuwiryo (BNI) sebagai ketua, M. Harsoadi (BRI) sebagai wakil ketua, A.H. Stok (NHM) sebagai panitera, Mr. Sumanang (BIN) sebagai wakil panitera, R.M. Koesmoeljono (BPI) sebagai bendahara dan H.H. Wiebols (NHB) sebagai wakil bendahara.
Pada 3 Juni 1952, Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo secara resmi membuka kembali Bursa Efek Indonesia di gedung De Javasche Bank, kini Bank Indonesia di kawasan Jakarta Kota. Perdagangan efek dimulai keesokan harinya dengan menjual obligasi tiga persen RI 1950 dan obligasi empat persen Kotapraja Bogor 1937.
Perkembangan Bursa Efek
Sampai minggu kedua pembukaan bursa efek, perdagangan efek hanya terbatas pada efek-efek yang laris, di antaranya tiga persen saham obligasi, saham Escomptobank dan saham perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) Vercenigde Prauwen. Anggota bursa saat itu terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu bank-bank nasional seperti BNI, BRI, dan BIN serta kantor-kantor makelar Belanda yang dulunya tergabung dalam organisasi perdagangan efek kolonial. Nama-nama seperti Escomptobank, Dunlop & Kolff dan Geijselman & Steup masih mencuat di lantai bursa.
Perubahan Politik dan Ekonomi
Rangkaian kebijakan moneter dan perubahan politik membuat PPUE terus melakukan penyempurnaan. Pada 1953, Daftar Kurs Resmi (DKR) pertama kali diterbitkan dan bursa mulai mencatat kegiatan peremisi (penawaran surat utang baru). Bank Industri Negara menjadi penerbit obligasi terbesar saat itu dengan menjual surat obligasi yang seluruhnya berjumlah Rp 300 juta. Obligasi ini dikeluarkan secara bertahap. Hingga tahun 1956, tiap tahun dikeluarkan obligasi bernilai Rp 100 juta.
Kemudian menyusul pinjaman-pinjaman obligasi dari bank yang sama, yang dikeluarkan pada tahun 1957 dan 1959 dengan bunga 5,5%. Jumlahnya Rp 350 juta. Selain itu pada 1954, juga dilakukan emisi pinjaman obligasi empat persen dari Yayasan Perguruan Tjikini sebesar Rp 1 juta, yang bertindak selaku penjamin emisi adalah Bank Negara Indonesia.
Perkembangan Bahasa dan Nasionalisasi
Memasuki 1957, ketegangan antara Indonesia dan Belanda soal Irian Barat mencapai puncaknya. Pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Akibatnya, anggota PPUE dari warga negara Belanda digantikan oleh warga Indonesia, termasuk dalam jabatan-jabatan strategis. Sejak 1 Januari 1958, seluruh kegiatan call di bursa dilakukan dalam bahasa Indonesia. Pada tahun itu pula, PPUE membuka kursus perdagangan efek guna meningkatkan kapasitas sumber daya manusia lokal di sektor keuangan.
PPUE selanjutnya memutuskan menghentikan keanggotaan perusahaan Belanda dari bursa. Kendati demikian, mereka tetap diizinkan beroperasi di luar bursa dengan tarif provisi terbatas. Beberapa perusahaan asing yang berhasil menyesuaikan diri dan menasional tetap aktif, seperti PT Aperdi dan PT Perantara Perdagangan Nasional (Perdanas).
Kenaikan Harga dan Penurunan Volume Transaksi
Pada 1960, Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (Banas) melarang perdagangan saham perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia. Ini membuat volume transaksi di bursa anjlok. Di sisi lain, pemerintah terus menerbitkan obligasi negara, termasuk obligasi hadiah 6% senilai Rp 2 miliar dan obligasi konsolidasi 3,5% sebesar Rp 7 miliar.
Pada 1958-1960, perdagangan efek dan obligasi di Indonesia terbagi dalam dua golongan. Begitu pula untuk saham luar negeri dari Amsterdam Stock Exchange dan saham-saham dari Amerika Serikat. Saat itu, bursa juga memperdagangkan saham-saham sektor pertambangan dan perkebunan karet dan sektor lain seperti perhotelan.
Sayangnya, dinamika politik dan ekonomi yang makin sentralistik di era Demokrasi Terpimpin memperlemah kekuatan pasar. Pemerintah mendaulat politik sebagai panglima, menyudutkan mekanisme pasar yang sehat. Harga efek pun tak lagi mencerminkan nilai wajar, membuat aktivitas bursa makin lesu.
Kemunduran Pasar Modal Indonesia
Tahun 1960 menjadi titik kritis. PPUE mulai kehilangan anggota, baik dari kalangan bank maupun perorangan. Di sisi lain, penggabungan berbagai bank milik negara ke dalam Bapindo dan BKTN turut mengubah lanskap pelaku pasar modal. Emisi obligasi pemerintah masih terus dilakukan, namun antusiasme investor makin menurun.
Hingga menjelang pertengahan dekade 1960-an, aktivitas bursa mulai meredup. Nasionalisasi, kontrol moneter yang ketat, serta melemahnya kepercayaan pasar membuat Bursa Efek Indonesia kembali memasuki masa vakum. Pada era Orde Baru, pasar modal Indonesia kembali menggeliat.